Premanisme Atas Nama Agama

Kriteria lain premanisme internal adalah para peserta dan pendukungnya rata-rata berpendidikan rendah, “bonek” (bondo nekat), dan tidak tahu-menahu masalah dengan baik. Karena itu, mereka yang ototnya paling kuat bak kawat dan tulangnya paling kokoh bak wesi (baca: besi) berada di depan untuk memimpin gerakan anarkis kolektif ini supaya dengan energik dapat meneriakkan yel-yel kebencian dan melantunkan lagu permusuhan serta nyayian kutukan. Dengan kata lain, orang-orang yang terlibat premanisme internal adalah orang-orang “kelas kampung” dan “kelas desa” yang galtek (gagal tehnologi) alias tidak pernah bersentuhan dengan peradaban lain. Mereka hanya kenal satu selera dan satu menu. Ibarat mereka hanya kenal tahu dan tempe. Mereka paksa orang lain untuk hanya membeli dan mengkonsumsi makanan yang selalu mereka makan, tidak peduli orang lain suka atau tidak, berselera atau tidak.

Nabi saw mengingatkan para ulama bahwa: “Ulama su’ akan direbus dalam api neraka sebelum penyembah berhala.”

Imam Musa al Kazhim  berkata: “Barangsiapa yang mendengar orang yang berorasi (berkhutbah) maka ia sedang menyembahnya. Bila pengkhutbah/penceramah itu berbicara tentang (agama) Allah maka pendengar sedang menyembah Allah. Namun bila seorang penceramah berbicara (sebagai penyambung lisan) setan maka pendengar sedang menyembah setan.”

Premanisme (tindak kekerasan) atas nama agama bukanlah hal baru. Sejarah premanisme yang bertopeng agama telah lama menghiasi lembaran sejarah umat Islam. Barangkali salah satu kelompok yang mewarnai sejarah premanisme agama secara terorganisir adalah kaum Khawarij. Kelompok Khawarij, misalnya, dapat disebut sebagai kelompok yang mau menang sendiri, sok suci, dan mudah mengkafirkan pihak-pihak yang mereka anggap keluar dari AD/ART alias khittoh yang mereka tetapkan. Untuk menghadapi pihak-pihak yang berseberangan pemikiran dengan mereka, Khawarij menggunakan penghalalan segala cara (tabrir wasa’il), termasuk pendekatan kekerasan, meskipun dampaknya mengenai orang-orang yang tidak berdosa. Sebab, mereka menganggap amarah mereka sebagai “amarah Tuhan”.

Khawarij tidak mengenal dialog, rekonsiliasi dan toleransi. Hanya ada satu kata, pedang, darah atau mati di jalan Tuhan. Mereka percaya bahwa kebenaran itu cuma dapat ditegakkan dengan perang dan angkat senjata, bukan dengan musyawarah, apalagi diskusi ilmiah. Sejarah bertutur kepada kita bahwa kaum Khawarij mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin. Pokoknya hanya mereka yang benar, yang lain berada dalam kebatilan. Bukan hanya Ali as yang mereka kafirkan, tapi juga Muawiyah dan Ammar bin Ash. Kaum Khawarij sudah menjadi cerita masa lalu dan pengikutnya pun sudah punah dan nyaris tak terdengar di telinga. Namun cara berpikir dan bertindak ala Khawarij sering terjadi dan terdengar dimana-mana.

Premanisme publik yang menggunakan embel-embel agama adalah sesuatu yang bukan hanya memprihatinkan, tapi juga mengerikan. Memprihatinkan karena di zaman ultramodern seperti sekarang ketika pelbagai pemikiran dan pendapat baru yang paling nyeleneh sekalipun dengan begitu mudah diakses di seluruh penjuru dunia, tiba-tiba ada sekelompok orang yang memonopoli pendapat dan mengklaim bahwa hanya pendapat dan akidahnya yang paling keren dan asli dan tidak boleh ada keyakinan yang lain yang menyainginginya. Lagi-lagi memprihatinkan karena di zaman banyak orang menyadari pentingnya memahami budaya orang lain, dialog sehat antar peradaban dan toleransi antar sesama penganut agama, masih ada orang yang berpikiran sempit dan berdada sesak yang tidak mengenal sopan-santun dalam bertetangga dan bersahabat. Alih-alih menjalin hubungan baik dengan sesama penganut agama, mereka tidak siap hanya sekadar menebar senyum, apalagi mengucapkan salam kepada sahabat Muslim mereka yang ber-mazhab atau ber-aliran “beda”.

Bagi mereka, perbedaan mazhab adalah identik dengan kekafiran, kemusyrikan dan kesesatan. Mereka tidak mau dengar bahwa pihak yang dikafirkannya itu masih melakukan shalat, menunaikan zakat dan berhaji ke Baitullah. Sebab menurut mereka, ibadah orang yang tidak mengikuti mazhab mereka mardud (tertolak) dan mereka tetap harus diperlakukan sebagai seorang kafir harbi (kafir yang haris diperangi). Mereka meyakini bahwa hanya mereka yang memegang kunci surga dan  yang menyortir dan memilah-milah siapa yang layak masuk surga dan siapa yang berhak masuk neraka. Mereka lebih tahu dari Tuhan tentang siapa yang diterima amalnya dan siapa yang tidak.

Dua Bentuk Premanisme Agama

Minimal ada dua bentuk premanisme agama: Premanisme eksternal (antar agama) dan premanisme internal (antar sesama pengikut satu agama). Dengan membaca beberapa paragraf di atas menjadi jelas bagi Anda bahwa tulisan kali ini sedang menyoroti premanisme internal, bukan eksternal.

Premanisme internal biasanya dilakukan oleh sekelompok/segelintir pihak yang tidak puas atau tidak setuju dengan semakin berkembangnya suatu aliran yang mereka anggap sesat dan menyimpang. Dalam tindakannya itu, mereka tidak segan-segan mengklaim bahwa pendekatan represif yang mereka lakukan adalah “mewakili” suara mayoritas kaum Muslimin. Seringkali mereka mencari pembenaran dan penghalalan atas apa yang mereka lakukan melalui “fatwa”, legitimasi dari tokoh-tokoh kesohor Islam, atau ormas-ormas besar Islam. Alhasil, mereka sekuat tenaga berusaha mencari dalil dan dalih, meskipun harus memutarbalikkan sebuah fakta demi menyukseskan agenda yang mereka cita-citakan, yaitu KO-nya pihak yang mereka cap sesat.

Ciri khas lain premanisme internal adalah sebelum beraksi, biasanya mereka menciptakan “opini buruk” terhadap ajaran yang mereka klaim sebagai sesat. Misalnya, mereka sebisa mungkin menanamkan pada masyarakat sekitar bahwa ajaran si A adalah baru, sesat dan meresahkan. Dan karena itu, selanjutnya harus segera ditumpas. Untuk rencana tersebut, mereka menyebarkan fitnah, membagikan selebaran gelap, atau mungkin memasang pengumuman yang sifatnya memprovokasi massa untuk bergerak dan bergabung dalam “karnaval kebencian” yang akan mereka gelar.

Premanisme sangat mudah ditunggangi pihak-pihak yang memang ingin memancing di air yang keruh. Dan kaum imperialis sangat pandai dan berpengalaman dalam memecah belah umat Islam. Maka jelas premanisme internal sama sekali tidak mewakili mayoritas umat Islam. Ia identik dengan gerakan bodoh yang dilakukan oleh orang-orang yang sakit hati dan tidak memiliki nurani.

Kriteria lain premanisme internal adalah para peserta dan pendukungnya rata-rata berpendidikan rendah, “bonek” (bondo nekat), dan tidak tahu-menahu masalah dengan baik. Karena itu, mereka yang ototnya paling kuat bak kawat dan tulangnya paling kokoh bak wesi (baca: besi) berada di depan untuk memimpin gerakan anarkis kolektif ini supaya dengan energik dapat meneriakkan yel-yel kebencian dan melantunkan lagu permusuhan serta nyayian kutukan. Dengan kata lain, orang-orang yang terlibat premanisme internal adalah orang-orang “kelas kampung” dan “kelas desa” yang galtek (gagal tehnologi) alias tidak pernah bersentuhan dengan peradaban lain. Mereka hanya kenal satu selera dan satu menu. Ibarat mereka hanya kenal tahu dan tempe. Mereka paksa orang lain untuk hanya membeli dan mengkonsumsi makanan yang selalu mereka makan, tidak peduli orang lain suka atau tidak, berselera atau tidak.

Di samping kriteria/ciri khas di atas, premanisme internal juga acap kali menggunakan atribut dan simbol-simbol agama, sehingga gerakan mereka meski tampak begitu “angker” dan anarkis terkesan sebagai keharusan dan kensekuensi untuk membela kebenaran dan menghancurkan kemungkaran. Dengan kata lain, tindakan represif mereka dalam rangka amal makruf nahi munkar. Karena itu, dalam aksi anarkisnya, mereka biasanya memakai asesoris agama, seperti kopyah, peci, gamis dll. Ini mereka lakukan untuk membedakan “premanisme” mereka dengan premanisme ala pasar dan terminal.

Tiga Dimensi Premanisme Agama

Menurut hemat kami, ada tiga hal yang melatarbelakangi munculnya premanisme agama: Pemimpin (ulama su’/yang tidak bertanggung jawab), umat (audien yang taklid buta), dan landasan/rumusan teologis yang salah.

Dimensi yang pertama, yaitu pemimpin (ulama su’ yang tidak bertanggung jawab) sangat berperan besar dalam mendalangi sebuah aksi kekerasan dalam internal agama. Kekerasan antar pengikut agama biasanya dipicu oleh statement (pernyataan) propokatif dan tidak edukatif seorang tokoh agama yang punya pengaruh di tengah masyarakat. Semakin kuat pengaruh tokoh agama ini, maka semakin luas dampak kekerasan yang ditimbulkan karena secara otomatis melibatkan banyak massa. Kalau yang memfitnah ulama kelas kampung maka bisa dipastikan akibat fitnahan ini gaungnya hanya berkisar antar RT dan RW. Tapi kalau yang menebar perpecahan dan permusuhan di antara umat Islam ulama kelas kakap alias ulama nasional maka bara kebencian yang dinyalakannya sulit dipadamkan.

Di sinilah ulama memegang kata kunci dalam setiap problem umat. Ulama harus sadar bahwa mereka adalah pewaris ilmu dan akhlak Nabi saw. Jika ulama salah langkah maka dampak dan korbannya sangat besar. Karena itu, tidak heran Nabi saw mengingatkan ulama bahwa: “ulama su’ akan direbus dalam api neraka sebelum penyembah berhala”.

Dimensi kedua, adalah umat (audien yang taklid buta). Umat yang tidak kristis dan hanya membebek pemimpinnya akan berbuat anarkis, tanpa peduli akibat dari perbuatan mereka. Umat yang “mengamini” ajakan pemimpin dan ulama su’ meskipun mereka diajak masuk sumur dan bahkan jurang adalah umat yang jahil murakkab (bodoh yang dobel). Dimensi ketiga adalah landasan teologis. Mungkin saja suatu tindakan anarkis dilakukan oleh umat karena penafsiran yang salah dari teks agama. Kesalahan penafsiran ini biasanya diinjeksikan oleh pemimpin mereka kepada kaum awam. Misalnya, mereka menganggap bahwa merusak rumah pribadi atau rumah ibadah suatu aliran yang sesat adalah jihad besar dan ibadah yang agung. Dengan landasan agamis yang keblinger ini umat bersemangat untuk menodai kehormatan saudara seagamanya demi mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Waliyadzu billah!

Metode Dakwah Islam, Seperti apa Sich?

Tak syak lagi bahwa Rasul saw ada dai dan mubalig terbaik yang pernah naik mimbar. Rasul saw adalah teladan terbaik bagi umat Islam. Lalu, bagaimana akhlak beliau saat berdakwah? Apakah pernah beliau pernah mengumpat pengikut agama lain di atas mimbar? Apakah beliau pernah mengomando para sahabatnya untuk menyerbu rumah pendeta atau rahib atau bahkan memerintahkan mereka untuk menghancurkan tempat ibadah agama non-Islam? Bukankah ketika mendengar hadis nabawi tentang kriteria minimal bagi seseorang untuk disebut sebagai Muslim: “Barangsiapa mengucapkan “lailahailallah” (bersyahadat) maka ia akan masuk surga”, sahabat Abu Hurairah sangat bergembira dan karena itu ia menyebarkan hadis tersebut di kalangan kaum Muslimin? Bukankah Allah Swt menasihati Nabi Musa dan Nabi Harun—saat keduanya hendak berdakwa ke istana Fir`aun—agar keduanya berkata secara lemah lembut, sehingga mungkin saja Firaun sadar (insaf) dan takut kepada Allah.[1] Bukankah Allah juga menghimbau kita agar jangan sampai kehilangan sikap adil hanya karena kita dikuasi kebencian terhadap  suatu kaum.[2] Inilah kebesaran dan keindahan ajaran Islam yang banyak disalatafsirkan dan disalahpraktekkan. Islam memerintahkan kita untuk berakhlak baik  dan berkata lembut terhadap musuh kebenaran yang paling sengit, yaitu Fir`aun.

Islam memerintahkan kita bersikap adil justru di saat kita menaruh permusuhan dan kebenciaan terhadap  suatu kelompok.

Lalu, apakah kita menganggap kelompok si A yang telah kita sesatkan lebih jahat dan lebih buruk daripada Fir`aun, sehingga kita kehilangan kontrol dan akhlak saat berhadapan dengannya???

Dakwah Rasul saw hanya menggunakan tiga pendekatan, yaitu: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An Nahl: 125)

Anda renungkan ayat tersebut dan temukan mutiara-mutiara hikmah di dalamnya! Pendekatan pertama dalam dakwah adalah pendekatan dengan hikmah, yakni menyampaikan argumentasi yang diterima oleh akal dan fitrah yang sehat. Hikmah berarti membuka kran dialog dengan pihak-pihak lain dan berusaha menunjukkan keunggulan ajaran Islam lewat pembuktian ilmiah dan akliah. Sebab, Islam adalah agama yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Menurut Ustad Makarim Syirazi, penulis tafsir al-Amtsal, hikmah ialah: “Menyampaikan kebenaran melalui ilmu dan akal, sedangkan mauizah adalah perbuatan baik dimana pendengar menerima penjelasan yang baik sehingga hatinya adem dan lembut dan pada akhirnya ia tunduk (terhadap apa yang disampaikan pembicara). Sedangkan jidal (debat) adalah teknik berdialog yang hanya bertujuan melumpuhkan dakwaan musuh.”

Jadi, hikmah adalah suatu hujah yang disampaikan oleh pembicara dimana dalamnya tidak ada kesamaran dan keraguan pada pendengar. Sedangkan mauizah adalah pembicaraan yang lembut dan mendorong hati pendengar untuk lebih teliti dan cermat. Biasanya materi mauizah sesuai dengan maslahat pendegar dan penuh dengan ibrah (pelajaran yang berharga). Sementara jidal tidak digunakan untuk menegakkan kebenaran, namun tujuan utamanya untuk melumpuhkan lawan bicara. Biasanya ini dilakukan dengan cara: pembicara menerima suatu keyakinan yang diterima lawannya dan masyarakat umum untuk kemudian dijadikan senjata makan tuan.

Tehnik ini digunakan untuk menghadapi lawan bicara yang ngeyel dan mau benar sendiri. Tiga metode ini (metode manthiqi (hikmah/rasional), metode khitobah (mauizah), dan metode jidal) diajarkan oleh Allah Swt kepada Rasulullah saw dan tidak ada metode yang lain. Yakni, tidak dibenarkan menggunakan metode dakwah yang lain, apalagi metode kekerasan. Metode kekerasan dalam menyampaikan kebenaran adalah bukan metode Islam, tapi gaya preman pasar yang tidak terdidik dan tidak berakhlak. Dan perlu diperhatikan bahwa Allah memberi qaid (catatan) bahwa metode khitobah (mauizah) harus dilakukan dengan cara yang baik dan metode jidal wajib menggunakan cara yang terbaik. Wallahu a`lam.


[1] ”Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)

[2] ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8)


Tinggalkan komentar